Jumat, 16 September 2016

Sengketa dan Pelanggaran HAM Mesuji SUMSEL


Pelanggaran HAM dalam penyelesaian konflik sengketa lahan PT. Sumber Wangi Alam di Mesuji
Oleh: Ra lutfiyatunnada(201310050311145)[1]



Dengan adanya konflik yang banyak merampas Hak-hak warga oleh investor asing kepada masyarakat Asli pribumi menunjukkan ketidak berdayaan pemerintah melawan kepentingan Investor, Kekuasaan pemerintah di perbudak oleh Kekuatan modal.Pemerintah melegalkan perampok merampas hak-hak masyarakatnya .

Negara beranggapan perlindungan Hak Milik individu hanya mempersulit proses pembangunan. Sehingga perlindungan Hak Milik Individu bukan lagi suatu yang harus di perjuangkan.


Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan jumlah totoal 17.499 pulau sehingga sebagian besar penduduk Indonesia merupakan petani, namun tidak semua lahan pertanian di Indonesia dapat di manfaatkan oleh petani. Pasalnya banyak para investor asing yang menanamkan modal nya untuk membuka perkebunan di Indonesia tentu hal ini mengurangi kesempatan para petani  untuk menglola kekaan alam negaranya senidiri.
Dampaknya saat ini banyak konflik sengketa yang terjadi antara perusahaan perkebunan dengan petani lokal, di Indonesia tercatat sejak tahun 2003 hingga 2010, jumlah konflik terkait penguasaan dan pengelolaan kekayaan alam sebanyak 317 kasus[2]. Sawit Wach juga mencatat ada lebih dari 360 konflik perkebunan wasit  sengketa lahan perkenbunan di indonesia[3] . tak jarang sengketa erkebunan yang terjadi antara warga dengan perusahaan tersebut berakhir menjadi tindakan pelanggaran Ham

Banyak nya kasus sengketa lahan ini bukan tanpa hokum yang mengatur, bahkan sejak tahun 1984 para revolusioner sudah membahas mengenai undang-undang agrarian yang kemudian di sah kan pada tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria No 5 tahun 1960.
Undang-undang Pokok Agraria 1960 merupakan bentukan dari para Revolusioner Bangsa  yang membawa konsep ideal tentang pengaturan Hukum Agraria. Dimana pembentukan itu bertejuan untuk melindungi Hak Agraria untuk kemakmuran rakyat Indonesia dari penjaajahan dan penindasan.[4]
Tetapi Realitas yang terjadi di masyarakat jauh dari harapan. Dimana saat ini banyak terjadi pergeseran model pengelolaan tanaman perkebunan, yang pada masa lampau masyarakat Indonesia mengelola mengelola usaha Perkebunan secara Subsistem yang telah berkembang secara turun menurun. Namun, saat ini secara perlahan mulai bergeser menjadi Agroindustri.
Pergeseran  pengelolaan dari model subsistem menjadi Agroindustri ini banyak di pengaruhi oleh perkembangan ekonomi dan politik Indonesia. Kondisi ini terus berlanjut dan semakin berkembang jauh dari kontrol semenjak di tetapkannya Undang-Undang Otonomi Daerah.
Dalam konsep Otonomi Daerah sendiri, Pemerintah Daerah diberi kewenangan Penuh untuk mengatur wilayahnya, tetapi kewenangan tersebut sering di salah gunakan untuk mempermudah perizinan kepada para Investor yang ingin mengeksploitasi kekayaan alam daerah. Dengan alasan sebagai usaha untuk percepatan pembangunan Dearah, karna pengelolaan secara indivisu oeh masyarakat tidak mampu memberikan pendapatan yang banyak kepada daerah.
Kemudian keadaan ini dapat menimbulkan banyak terjadinya konflik sengketa lahan. Salah satu yang menyebabkan terjadinya konflik ini adalah karna hak menguasai oleh Negara atas tanah. Yang sesungguhnya harus digunakan untuk mendorong kesejahteraan rakyat, justru banyak di berikan kepadan Badan Hukum dalam bentuk Hak Guna Usaha(HGU). Sementara dilain sisi tidak ada kepastian Hukum terhadap Hak masyarakat adat.
Seperti yang terjadi di daerah Mesuji kabupaten OKI sumsel. Dimana Pemerintah Dearah meberi perizinan Pengelolaan Lahan kepada PT.Sumber Wangi Alam yang berujung Konflik sengketa lahan antara pihak perusahaan dengan pihak masyarakat Lokal yang berakhir dengan tindakan pelanggaran Ham.
            Konflik Mesuji ini merupakan salah satu dari sekian banyak ribu konflik agrarian di Indonesia yang merampas Haak-hak kepemilikan dan Hak kesejahteraan bangsa Indonesia. tentu sebagai Negara demokrasi yang menjamin Hak-Hak negaranya sepatuntnya tidak mengabaikan Hak kepemilikan lahan masyarakatadat yang menyebabkan  perebutan lahan antara investor dengan pribumi.
Hukum Agraria dan Perlidungan Ham
            Lahirnya UU No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang disahkan pada 24 september 1960 atau dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria(uupa) merupakan kebijakan revolusioner yang mengakhiri produk hokum kolonial mengenai agrarian. UUPA yang sudah dibahas sejak tahun 1948 telah merombak Hukum Agraria masa colonial yang cenderung Eksploitatif,dualistic dan feodalistik.[5]  
            Jka di tinjau dari segi sejarah pembentukan UUPA sendiri merupakan bentuk pemberontakan kepada para colonial untuk menuntut Hak-hak kepemilihan Tanah secara Individu dan bebas dari penindasan juga penjajahan dan menunjukkan identitas asli bangsa Indonesia yang memiliki Hukum Adat dan tidak menghilangkan bentuk kekuasaan Negara.
            Olehkarna itu UUPA adalah merupakan konsep yang memadukan paham Individualisme dan konsep Komunalisme.[6] Dimana dalam pandangan Individualisme setiap orang boleh memiliki tanah tanpa bisa di batasi. Sedangkan dalam pandangan Komunalisme yang menjujung kesederajatan persamaan kedudukan manusia melarang adanya kepemilikan tahan oleh Individu .
            UPPA mengkolaborasikan keduanya yang membolehkan setiap warganegara memiliki Ha katas tanah tetapi tetapi hak itu di batasi luasnya maupun penegasan fungsinya demi kepentingan masyarakat sebagai suatu kesatuan. Dengan demikian UPPA bersifat Prismatik yang sesuai dengan jiwa pancasila. Karna prismatic merupakan konsep yang mempertemukan sisi baik Individuealisme (menghargai hak dan kebebasan perseorangan) dengan sisi baik Komunalisme (menghormati kesamaan martabat manusia).
            Tetapi meskipun dalam konsep mengenai hukum yang mengatur agrarian menjunjung tinggi Hak perseorangan, dalam realita sangat sulit untuk di implementasikan karna adanya ketidak selarasan antara Hukum dengan Perkembangn dinamika polik di Indonesia.  
Standar Acuan Dasar Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia di bentuk karna bertujuan untuk melindungi apa yang seharusnya di dapat oleh Indivisu. Oleh karna itu ada beberapa acuan dasar yang dijadikan standar pelaksanaan HAM di Beberapa Negara, salah satunya seperti Deklarasi Kairo yang di jadikan sebagai Norma Hukum Internasioanl yang mengatur bagaimana Negara-Negara di dunia menjamin hak-hak individu. Karna Negara merupakan Aktor utama dalm Penegakan HAM dan perlindungan HAM rakyatnya.[7]
 Dalam Deklarasi Kairo yang di lakukan pada tahun memuat asas-asas dasar HAM dan komponen HAM yang meliputi
1.      Hak untuk hidup
2.      Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
3.      Hak kekayaan intkektual
4.      Hak kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi
5.      Hak memperoleh keadilan
6.      Hak kebebasan beragama
7.      Hak atas kemerdekaan diri
8.      Hak kebebasan berdomisili dan memperoleh suaka Negara lain
9.      Hak atas rasa aman
10.  Hak atas kesejahteraan
11.  Hak kepemilikan
12.  Hak turut serta dalam pemerintahan
13.  Hak perempuan
14.  Hak anak.
Empat belas isi di atas merupakan standar Hak dasar yang hars terpenuhi yang di bahas dalam Deklarasi kairo yang kemudian menjadi acuan banyak Negara salah satunya yaitu Indonesia.
Dalam kasus yang terjadi di Indonesia sendiri mengenai sengketa lahan masyarakat sodong dengan PT.SWA sudah melanggar 5 (lima ) acuan dasar Perlindungan Hak Indidu. Lima point tersebut adalah Hak untuk Hidup, Hak atas rasa aman, Hak kesejahteraan, dan Hak kepemilikan.
Acuan Dasar perlindungan HAM ini sejalan dengan Undang-Undang Dasar Pasal 28 A yang menyatakan bahwa “ setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan kehidupannya” dan juga pasal 28 H ayat (4) “setiap orang berhakmempunyai hak milik pribadi dan hak milik pribadi tersebut tidak boleh diambil sewenang-wenang oleh siapapun”.
Pasal tentang HAM ini menekankan pada Hak Individual. Pasal ini bermaksud untuk melindungi orang untuk menjaga kelestarian kesejahteraan hidupnya, sumber matapencahariannya. Oleh sebab itu jaminan atas kecukupan pangan , sandang papan tempat tinggala dalah kebutuhan dasar yang tidak boleh di langgar Hal ini selaras dengan acuan dasar HAM Internasional pada Deklarasi Kairo.
bentuk-bentuk pelanggaran ham di Mesuji
            menurut undang-undang no 39 tahun 1999, pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok termasuk aparat Negara, baik di sengaja maupun tidak di sengaja atau kelalalian yang secara hokum mengurangi, menghalangi membatasi dan atau mencabut Hak asasi seseorang atau kelompok yang di jamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan di khawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hokum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hokum yang berlaku.
            Sedangkan menurut UU No 26 tahun 2000 tentang peradilah HAM pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang  atau kelompok termasuk aparat Negara baik di sengaja ataupun kelalalian yang secara hokum mengurangi, menghalangi dan membatasi dan atau mencabut HAM seseorang atau sekelompok orang yang di jamin oleh undang-undang dan tidak di dapatkan atau di khwatirkan akan memperoleh penyelesaian yang adil dan benar bedasarkan mekanisme hokum yang berlaku.
            Di dalam kasus Mesuji sendiri jika di lihat dari sudut pandang Acuan Dasar HAM Deklarasi Kairo terdapat beberapa pelanggaran HAM, di antaranya seperti
  1. Hak Kepemilikan
Dalam kasus tersebut terjadi perampasan Hak Milik, karna sebelum di bukanya lahan perkebunan perusahaan kelapa sawit, masyarakat lebih dulu memanfaatkan lahan untuk pertanian dan menjadi Hak milik pribadi. Setelah terjadi perjanjian dengan PT.SWA baru lah terjadi konflik, dimana dalam perjanjian dengan PT.SWA, masyarakat memplasmakan tanahanya hanya dalam jangka waktu 10 tahun, setelah itu tanah akan di kembalikan kepada masyarakat. Tetapi PT.SWA mendaftarkan tanah tersebut sebagai Hak Guna Usaha (HGU).
  1. Hak Kesejahteraan
Dengan di rampasnya lahan milik warga tentu PT.SWA telah merampak hak-hak kesejahteraan masyarakat. Dimana lahan tersebut merupakan sumber mata pencaharian yang di gunakan untuk bercocok tanam.
  1. Hak untuk hidup
Konflik yang terjadi antara masyarakat Desa Sungai Sodong tersebut juga terjadi pemberontakan , dan serangan dimana 30 nyawa terbunuh mengenaskan, 15 dari warga sungai sodong dan 5 dari pihak pekerja PT.SWA.
  1. Hak untuk mendapatkan rasa aman
Konflik yang tidak segera terseselaikan tersebut semakin menegang ketika banyak pembunuhan misteius secar sadis, yang mengakibatkan warga desa dungai sodong merasa terancam dan tidak aman.
Ketidak berdayaan pemerintah dalam Penyelesaian Konflik
            Dalam penyelesaian konflikter tersebut  pemran pemerintah daerah merupakan unsur penting diamana  Lahan atas kerjasama PT SWA dengan pihak pemerintah, oleh sebab itu pemerintah juga perlu di mintai pertanggung jawaban atas apa yang sudah menjadi keputusannya.
            Dengan adanya konflik yang banyak merampas Hak-hak warga oleh investor asing kepada masyarakat Asli pribumi menunjukkan ketidak berdayaan pemerintah melawan kepentingan Investor, Kekuasaan pemerintah di perbudak oleh Kekuatan modal.Pemerintah melegalkan perampok merampas hak-hak masyarakatnya .
            Dimana pada penyelesaian Konflik tersebut pada tahun 2014 PT.SWA menggugat 4 warga desa sungaisodong atas penguasaan tanah seluas 633,2 ha , dan menuntut ganti rugi 12 milyar rupiah. Padahal luas lahan 633,2 hektar tersebut merupakan tanah milih warga sungaisodong yang di jadikan plamsma, tetapi di masukkan kedalam Hak guna usaha (HGU) yang di terbitkan tahun 2011[8].
            Keputusan yang teteap di menangkan oleh PT.SWA ini menunjukkan tidak adanya udaha pemerintah untuk melindungi hak-hak masyarakatnya, dimana Pihak PT.SWA di fasilitasi dalam perizinan Hak Guna Usaha yang sejatinya tanah tersebut merupakan tanak milik masyarakat.
            Dari aspek yakni perkembangan masyarakat, menunjukkan pelaksanaan UPPA , banyak hal yang menjadikan bangsa ini terpuruk jauh dari kesejah teraan . karna pelaksanaan UUPA sendiri tidak sesuai dengan konsep ideal yang di buat.
            Negara yang di wakilkan oleh pemerintah malah malah berputar haluan mengikuti kehendak Kapitalisme Global. Yakni membuka diri seluas-luasnya terhadap peran modal asing dan kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat. Negara tidak mengembalikan kekuasaan Negara untuk mewujudkan kemakmuran rakyat.
            Joseph stitglits[9] menyatakan bahwa “pembangunan ekonomi haruslah ditunjukkan pada kepentingan rakyat yang paling besar yaitu petani. Karna Indonesia belum dapat di katakana makmur jika petaninya belum makmur .
            Namun semua itu tetap jauh dari harapan karna upaya pemanfaatan potensi alam sebesar-besarnya utnuk kemakmuran rakyat harus berhadapan dengan permasalahan pengelolaan di serahkan kepada rakyat tanpa skill atau modal, dan penyerahan dan pengelolaan kepada pihak asing punya modal dan skill dalam kurun waktu janga panjang.
            Tentu pemerintah lebih memilih kekuasaannya di perbudak oleh iming-iming modal investor dengan menyerangkan potensi alam milik daerah kepada investor,meski di satu sisi harus merampas Hak-Hak warga negaranya.
            Saat ini Negara juga msih sering beranggapann bahka perlindungan Hak Milik individu hanya mempersulit proses pembangunan. Sehingga perlindungan Hak Milik Individu bukan lagi suatu yang harus di perjuangkan.

.
Penutup
Sebagai Negara Demokasi, Indonesia mengharga Hak-Hak pribadi yang di miliki setiap orang, termasuk Hak kepemilikan lahan yang di atur dalam UUPA.  UUPA sendiri bersifat prismatic yang merupakan konsep yang mempertemukan sisi baik Individuealisme (menghargai hak dan kebebasan perseorangan) dengan sisi baik Komunalisme (menghormati kesamaan martabat manusia).
Namun sampai sejauh ini pengaturan mengenai Agraria di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan, banyaknya sengketa lahan antara masyarakat adat dengan para investor menunjukkan kelemahan Negara dalam menegakkan Regulasi yang di miliki.
Negara sebagai aktor utama dalam penegakkan HAM, seharusnya benar-benar memanfaatkan kekuasaannya untuk mensejahterakan masyarakatnya. Memanfaatkan potensi sumberdaya alam untuk di kembalikan kepada masyarakat. Bukan melegalkan para perampok Hak masyarakat Indonesia untuk merebuk Hak-hak masyarakat.

Daftar pustaka
Sodiki,Akhmad, 2013, Politik Hukum Agraria. Jakarta : Konstitusi Press
Santoso,urip.2012, Hukum Agraria kajian Komprehensif, Jakarta: Kencana Prenada  Media Group.
Muhtaj,el Majda , Dimensi Dimensi HAM, mengirai Hak ekonomi,Sosial, dan Budaya,Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Wigjosoebroto soetandyo dkk,2011.Untuk Apa Prularisme Hukum?,Jakarta: Epistema Institute
ELSAM,Lembaga Study dan Advokasi Masyarakat http://elsam.or.id/2015/10/perkara-sodong-hingga-tingkat-kasasi-tidak-ada-bukti-baru-dari-pt-swa/ di akses 4 april 2015
Surat keputusan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No 17/PDT/2015/PT.PLG

Undang-Undang No 39 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Undang-undang No 26 tahun 2002 Tentang Peradilan Hak Asasi Manusia




[1] Mahsiswa ilmu pemerintahan kelas VI –C
[2] Sawit watch.com
[3] Wigjosoebroto soetandyo dkk,2011.Untuk Apa Prularisme Hukum?,Jakarta: Epistema Institute
[4] Sodiki,Akhmad, 2013, Politik Hukum Agraria. Jakarta : Konstitusi Press
                                  
[5] Sodiki,Akhmad, 2013, Politik Hukum Agraria. Jakarta : Konstitusi Press
[6] Sodiki,Akhmad, 2013, Politik Hukum Agraria. Jakarta : Konstitusi Press

[7] Sodiki,Akhmad, 2013, Politik Hukum Agraria. Jakarta : Konstitusi Press

[8] ELSAM,Lembaga Study dan Advokasi Masyarakat
[9] Sodiki,Akhmad, 2013, Politik Hukum Agraria. Jakarta : Konstitusi Press


Tidak ada komentar:

Posting Komentar